sertakan Sumbernya bila anda mau mengcopy paste artikel ini. Animasi Dengan Jquery Firefly Plugin http://djogzs.blogspot.com/#ixzz1wPOkTQqg Under Creative Commons License: Attribution
sertakan Sumbernya bila anda mau mengcopy paste artikel ini. Cloud Animasi dengan CSS3 http://djogzs.blogspot.com/#ixzz1wPVLlTPV Under Creative Commons License: Attribution

Naruto VS Sasuke,who is the strongest?

PARADIGMA DALAM MASYARAKAT

Posted by : munadi
Paradigma Masyarakat, Behaviour, dan Budaya sebagai Satu Kesatuan dalam
Peningkatan atau Penurunan Nilai Kesehata
Jika kita telaah lebih lanjut, ketiga hal tersebut ternyata sangat mempengaruhi suatu nilai
kesehatan dalam kehidupan kita.
Masih perlu kita pertanyakan megenai paradigma sehat menurut masyarakat-masyarakat pada
umumnya. Karena berdasarkan asumsi saya, kebanyakan masyarakat kita masih berpandangan
bahwa kesehatan itu adalah sikap kuratif dan rehabilitatif yg menjadi unsur pembangunnya,
bukan sikap promotif dan preventif. oleh karena itu paradigma masyarakat yang seperti ini lah
yang semestinya kita ubah sedikit demi sedikit. Karena mau sebaik apapun penyuluhan kita
terhadap masyarakat, jika paradigma tersebut belum mampu kita ubah, maka kita sebagai pelaku
promosi kesehatan akan menemukan kesulitan dalam tujuan kita untuk meningkatkan nilai
kesehatan tadi.
Lanjut ke tahapan kebiasaan. Karena menurut saya kebiasaan satu individu sangat dipengaruhi
oleh ideologi bahkan paradigma dalam membangun sikap tersebut. Jadi bisa saya katakan bahwa
paradigma adalah faktor sentral dalam mempengaruhi kebiasaan atau tindakan-tindakan yng kita
lakukan. Tetapi kebiasaan yang kita lakukan itu bisa saja mempengaruhi paradigma-paradigma
individu lain. Sebagai contoh : “dalam suatu masyarakat yang nilai kesehatan nya masih rendah
(dilihat dari paradigma individu-individu dalam masyaakat tersebut yang masih belum peduli
terhadap lingkungan sekitarnya) pasti ada setidaknya satu orang yang sangat berpengaruh dan
dijadikan sosok panutan dalam masyarakat tersebut, kita ambil ketua RT. Nah apabila kebiasaan
ketua RT tersebut sangat mendukung dalam peningkatan nilai-niai kesehatan seperti
membersihkan selokan dll. Tentunya masyarakat yang tadinya belum sadar akan hal itu, menjadi
sadar karena kebiasaan sang ketua RT tersebut.” Dalam hal ini kita bisa simpulkan bahwa
kebiasaan tersebut memang dipengaruhi oleh paradigma, tetapi kebiasaan satu orang juga dapat
mempengaruhi paradigma-paradigma individu-individu lain. Sehingga hubungan paradigma dan
kebiasaan sangat relevan.
Muncul satu hal lagi yang sangat penting, yaitu “Budaya”. Saya memiliki pandangan bahwa
budaya ini terbentuk atas dasar penggabungan dari paradigma dan kebiasaan, sehingga ia
menghasilkan sesuatu yang disebut budaya atau kebudayaan. Namun kebudayaan apa yang akan
kita bahas disini? Tentu saja Budaya seseorang atau masyarakat untuk hidup sehat baik secara
jasmani, rohani atau sosial. Dan lagi budaya juga erat kaitannya dengan sikap. Oleh karena itu
budaya tersebut dipengaruhi langsung oleh suatu kebiasaan.
Kita sebagai praktisi promosi kesehatan sangat mengharapkan budaya masyarakat yang sehat,
baik itu untuk dirinya, untuk keluarganya, untuk masyarakatnya bahkan untuk lingkungannya.
Sehigga bukan persoalan lagi bahwa masyarakat Indonesia ini akan semakin tinggi nilai
kesehatannya.
Oleh karena itu marilah kita ubah paradigma kita mengenai kesehatan agar bisa berpengaruh
terhadap kebiasaan yang kita jalani. Dan berujung pada budaya yang sangat mementingkan
kesehatan, dimana hal ini mutlak dimiliki oleh setiap individu untuk melakukan segala aktifitas
secara optimal, sehingga nilai kehidupan kita pun senantiasa bermakna.
Mengubah Paradigma Asuransi
Perkembangan industri asuransi jiwa di Indonesia belakangan ini cukup pesat. Jumlah premi
meningkat tajam, klaim yang dibayar sebagai manfaat berasuransi semakin signifikan.
Masyarakat yang berasuransi secara individual ataupun kelompok bertambah banyak. Jumlah
agen asuransi pun terus meningkat. Semua itu membuktikan bahwa asuransi memang sebagai
salah satu pembuka lapangan kerja serta bermanfaat bagi ekonomi dan akhirnya masyarakat
secara luas. Jika dibandingkan dengan kinerja industri sejenis di negara lain, Indonesia memang
masih tertinggal. Tentu saja, kondisi itu terkait dengan tingkat kesejahteraan dan pemahaman
masyarakat terhadap manfaat berasuransi.
Pertanyaannya, apakah masyarakat harus terlebih dahulu sejahtera baru mereka ditawari produk
asuransi? Atau sebaliknya. Justru karena belum sejahtera sehingga masyarakat perlu dan penting
diajak berasuransi? Itulah paradigma asuransi. Paradigma berasuransi yang terbangun saat ini di
masyarakat ialah asuransi identik dengan kemalangan. Entah itu meninggal, kecelakaan, dan
lainnya. Karena itu, saat seseorang diajak berasuransi atau ditawari polis asuransi, yang
terbayang seketika ialah kematian, sakit, atau kecelakaan sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan finansial diri sendiri dan keluarga.
Itu ada benarnya.Jika paradigma tadi dibiarkan terus-menerus hidup dalam masyarakat,
perkembangan asuransi akan tetap lambat dibandingkan dengan besarnya harapan dan potensi
pasar asuransi nasional. Penduduk yang berjumlah 220 juta jiwa bukanlah pasar kecil bagi
asuransi di tengah semakin meningkatnya pendapatan per kapita penduduk.Oleh sebab itu, pesan
"proteksi" dengan konotasi kemalangan yang masih sering "dijual" kalangan asuransi,
perusahaan, agen, sudah harus diubah dan diganti menjadi pesan"kesejahteraan".Di sinilah
pentingnya peran agen asuransi sebagai ujung tombak industri ini. Merekalah yang berhadapan
langsung dengan masyarakat.
Pergeseran Paradigma Etika Pelayanan Publik
Sejarah etika dalam pelayanan publik dapat ditelusuri dalam tulisan Denhardt yang
berjudul The Ethics of Public Service (1988). Penulis ini menggambarkan sejarah etika
pelayanan publik mulai dari karya Wayne A.R.Leys tahun 1944, yang oleh penulis disebut
sebagai Model I – The 1940’s. Leys memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serika
tentang bagaimana menghasilkan suatu good public policy decisions. Ia berpendapat bahwa
sudah waktunya meninggalkan kebiasaan atau tradisi (custom) yang selama ini selalu menjadi
pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan keputusan karena pemerintah terus
berhadapan dengan berbagai masalah baru. Katanya, kebiasaan dan tradisi tersebut harus
“digoyang” dengan standard etika yang ada dimana etika, katanya, harus dilihat sebagai
source of doubt. Pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu
keputusan sudah dianggap baik atau tidak. Singkatnya, dalam model ini dikatakan bahwa
agar menjadi etis, diperlukan seorang administrator senantiasa menguji dan
mempertanyakan standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan dari pada hanya
sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada (Denhardt, 1988: 6)
Hurst A. Anderson di tahun 1953 mengungkapkan dalam suatu pidatonya dengan
judul Ethical Values in Administration (nilai-nilai etika dalam administrasi). Katanya,
masalah etika sangat penting dalam setiap keputusan administratif, tidak hanya bagi mereka
yang memformulasikan kebijakan publik, dan etika itu sendiri harus dipandang sebagai
asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua. Dengan kata lain, kita
harus memiliki apa yang disebut philosophy of personal and social living. Oleh Denhardt
(1988) pendapat ini diklasifikasikan sebagai Model II – The 1950’s, yang berintikan bahwa
agar dianggap etis maka seorang administrator hendaknya menguji dan mempertanyakan
standard atau asumsi-asumsi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan.
Standard-standard tersebut harus merefleksian nilai-nilai dasar masyarakat, dan tidak
sekedar bergantung semata pada kebiasaan dan tradisi (hal 8). Perlu diketahui bahwa yang
dimaksudkan dengan nilai-nilai dasar (core values) masyarakat meliputi antara lain
kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Tahun 1960an memunculkan suatu nuansa baru dalam etika pelayanan publik. Robert
T.Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudulkan Men, Management, dan
Morality tahun 1965, bahwa praktek-praktek organisasi yang telah berlangsung sekian lama
yang didasarkan pada teori-teori organisasi tradisional telah membawa dampak negatif pada
individu-individu yang bekerja dalam organisasi itu sendiri. Dengan kata lain, para individu
tersebut merasa tertekan dan frustrasi dan karena itu sisi etika dari praktek tersebut perlu
mendapatkan perhatian. Standard-standard yang telah ditetapkan dalam organisasi jaman dulu
belum tentu cocok sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas
dipertahankan atau tidak. Disini Golembiewski melihat etika sebagai contemporary standards
of right conduct yang harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Karena itu, Denhardt
(1988) melihat pendapat ini sebagai Model III – 1960’s, yang pada dasarnya agar menjadi
etis seorang administrator sebaiknya menguji dan mempertanyakan standard, atau asumsi
yang melandasi pembuatan suatu keputusan. Standar-standard tersebut harus merefleksikan
nilai-nilai dasar masyarakat dan tidak semata bergantung pada kebiasaan dan tradisi.
Standard etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu pemahaman yang lebih baik terhaap
standard-standard moral yang absolut (hal. 9-10).
Para ahli administrasi publik yang tergolong dalam masyarakat New Public
Administration yang muncul di tahun 1970an, memberikan nuansa baru yaitu meminta agar
administrator memperhatikan administrative responsibility. David K.Hart, salah seorang
intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat impartial dan sudah
waktunya merubah paradigma lama untuk memperbaiki kepercayaan publik yang waktu itu
sudah pudar. Ia menyarankan agar social equity atau keadilan sosial harus menjadi pegangan
pokok administrasi publik, sebagaimana disarankan oleh John Rawls dalam Teori Keadilan,
yang dinilai benar-benar menggambarkan paradigma keadilan. Nilai keadilan yang
disarankan disini sebenarnya hanyalah merupakan sebagian dari core values yang telah
disebutkan diatas, sehingga pengalaman di tahun 1970-an tersebut lebih menggambarkan
penyempurnaan content atau isi dari etika itu sendiri, sebagai pelengkap dari tinjauan tentang
process dan context yang telah diungkapkan dalam model-model sebelumnya.
Dengan demikian, model ini disebut sebagai Model IV – the 1970’s, yang merupakan
akumulasi penyempurnaan dari model-model sebelumnya dimana dikatakan bahwa agar
menjadi etis seorang administrator harus benar-benar memberi perhatian pada proses
menguji dan mempertanyakan standard, atau asumsi yang melandasi pembuatan keputusan
administratif. Standard-standard ini mungkin berubah dari waktu ke waktu dan
administrator harus mampu merespons tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan baru
dengan memperbaharui standard-standard tersebut. Isi dari standard-standard tersebut
harus mererfleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, dan administrator
harus tahu bahwa ialah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap standard-standard
yang digunakan dan terhadap keputusan-keputusan itu sendiri (Denhardt, 1988:16)
Setelah model keempat diatas, muncul beberapa pendapat yang secara signifikan
memberikan kontribusi bagi penyempurnaan paradigma etika pelayanan publik. Dua tokoh
penting yang memberi kontribusi tersebut adalah John Rohr dalam karyanya Ethics for
Bureaucrats (1978) dan Terry L. Cooper dalam The Responsible Administrator (1986). John
Rohr dalam tulisannya memberikan sumbangan yang sangat berati yaitu bahwa dalam proses
pengujian dan mempertanyakan standard dan asumsi yang digunakan dalam pengambilan
keputusan diperlukan “independensi”, dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar
seperti Makamah Agung atau Pengadilan Negeri, dsb. Karena itu, Denhardt (1988)
menyebutnya sebagai Model V – After Rohr, dimana dikatakan bahwa untuk dapat disebut
etis maka seorang administrator harus secara independen masuk dalam proses menguji dan
mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Isi dari
standard tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu ketika nilai-nilai sosial dipahami
secara lebih baik atau ketika masalah-masalah sosial baru diungkapkan. Administrator
harus memahami bahwa ia akan bertanggung jawab baik secara perorangan maupun
kelompok terhadap keputusan-keputusan yang dibuat dan terhadap standard etika yang
dijadikan dasar keputusan-keputusan tersebut (Denhardt, 1988: 23).
Setelah Model V yang didasarkan pada pendapat John Rohr, Denhardt (1988: 26)
menggambarkan suatu model akhir yang disebut Model VI – After Cooper. Model ini
menggambarkan pemikiran Cooper bahwa antara administrator, organisasi, dan etika terdapat
hubungan penting dimana etika para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks
organisasi dimana ia bekerja. Jadi lingkungan organisasi menjadi sangat menentukan, bahkan
begitu menentukan sehingga seringkali para administrator hanya memiliki sedikit “otonomi
beretika”. Dengan kata lain, agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator mampu
mengatur secara independen proses menguji dan mempertanyakan standard yang digunakan
dalam pembuatan keputusan, paling tidak keputusan yang secara sah dibuat pada tingkatan
organisasi itu. Isi dari standard tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu bila nilainilai
sosial dipahami secara lebih baik dan masalah-masalah sosial baru mulai terungkap.
Administrator dalam hal ini harus siap menyesuaikan standard-standard tersebut dengan
perubahan-perubahan tersebut, senantiasa merefleksikan komitmennya pada nilai-nilai
dasar masyarakat dan tujuan organisasinya. Administrator akan bertanggung jawab secara
perorangan dan profesional, dan bertanggung jawab dalam organisasi terhadap keputusan
yang dibuat dan terhadap standard etika yang digunakan dalam keputusan itu (Denhardt,
1988.26).
Dari gambaran singkat tentang pergeseran paradigma etika pelayanan publik diatas
dapat disimpulkan bahwa selama ini etika dan moralitas sudah mendapatkan perhatian yang
serius dalam dunia pelayanan publik atau administrasi publik. Tiga hal pokok yang menarik
perhatian dalam paradigma ini yaitu (1) proses menguji dan mempertanyakan standard etika
dan asumsi, secara independen; (2) isi standard etika yang seharusnya merefleksikan nilainilai
dasar masyarakat dan perubahan standard tersebut baik sebagai akibat dari
penyempurnaan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun sebagai akibat
dari munculnya masalah-masalah baru dari waktu ke waktu; dan (3) konteks organisasi
dimana para administrator bekerja berdasarkan tujuan organisasi dan peranan yang dimainkan
mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika.
PARADIGMA PEMBANGUNAN KEHUTANAN
Sejarah tiga dasa warsa pengelolaan hutan tropis adalah sebuah potret “chaos” pembangunan
kehutanan Indonesia termasuk di Provinsi Maluku. Kegagalan tersebut dicerminkan oleh
maraknya berbagai persoalan yang kini telah meledak sebagai sebuah krisis kehutanan yang
bersifat multi dimensi. Konflik lahan antar stakeholder di kawasan hutan, bencana kebakaran
hutan, deforestasi yang berdampak pada erosi dan sedimentasi, perambahan dan pencurian
kayu (illegal logging), dan dehumanisasi masyarakat setempat, merupakan beberapa
persoalan kritis yang sampai hari ini belum terselesaikan. Kelestarian hutan dan
kelangsungan hidup masyarakatnya saat ini menjadi suatu wacana yang sangat langka bahkan
cenderung hilang bersama perubahan ekologi hutan dan sosial budaya masyarakat.
Krisis kehutanan pada dasarnya terjadi karena kesalahan budaya yang tercermin dari cara
pandang, norma yang dianut, dan perilaku para pengelola hutan dalam menerapkan kebijakan
pembangunan kehutanan. Paradigma pembangunan kehutanan sebagai payung yang
melandasi setiap kebijakan pengelolaan hutan selama ini banyak diwarnai wacana
paternalistik yang menghasilkan pola sentralistik, tidak demokratis dan terbuka yang
membentuk pola pendekatan atas bawah dan seragam. Oleh sebab itu landasan dan orientasi
paradigma kehutanan haruslah dirubah. Perubahan paradigma kehutanan akan meungkinkan
perubahan kebijakan dan implementasi operasional pengelolaan hutan, dalam kerangka yang
lebih sejajar, demokratis dan dapat dipertanggung jawabkan.
Terdapat dua hal mendasar sebagai cara pandang yang harus diyakini sebagai sebuah neo
ideologi oleh setiap stakeholder pengelola hutan alam, yakni
• Bahwa hutan dan masyarakat setempat tidak dapat dipisahkan. Karena itu
pengelolaan hutan harus berbasis pada masyarakat (Community Based Forest
Management), dimana masyarakat menjadi pelaku utama. Selama ini yang terjadi
adalah state based forest management.
• Bahwa hutan merupakan sebuah ekosistem yang bersifat integral. Karena itu,
pengelolaan hutan konvensional yang hanya berorientasi pada kayu (timber
extraction) harus diubah menuju pengelolaan hutan yang berorientasi pada sumber
daya alam yang bersifat multi-produk, baik hasil hutan kayu maupun non kayu, jasa
lingkungan serta manfaat hutan lain (forest resources based management)
Perubahan atas wacana di atas menjadi sia-sia, bila dalam penerapan pengelolaan hutan
berbasis masyarakat tidak mewujudkan prinsip-prinsip dasar paradigma baru pembangunan
kehutanan.
Prinsip kelestarian fungsi ekonomi dan sosial hutan merupakan salah satu syarat utama
tercapainya pengelolaan hutan secara lestari. Artinya, ketiga aspek di atas secara
proporsional tetaplah menjadi pertimbangan sesuai dengan potensi hutan dan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat. Dalam perspektif ini, menjadi penting untuk tidak
mendasarkan usaha pengelolaan hutan semata-mata hanya pada orientasi hasil hutan berupa
kayu. Terlebih bila pengelolaan hutan tersebut dilakukan pada kawasan hutan lindung atau
konservasi yang tidak memperbolehkan bentuk pengelolaan hutan yang merubah fungsi pokok
hutan.
Budaya paternalistik yang menyebabkan ketidaksejajaran kedudukan antar stakeholder juga
terbukti merupakan salah satu sebab kegagalan pengelolaan hutan secara lestari dan
berkelanjutan. Negara melalui pemerintah dan aparaturnya memegang hegemoni penguasaan
hutan dan distribusi pemanfaatannya.
Demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan merupakan jawaban dari persoalan di atas.
Prinsip demokrasi merefleksikan bahwa kedaulatan tertinggi atas suatu hal berada di tangan
rakyat. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya hutan peran rakyat haruslah menjadi titik
pusat setiap bentuk kegiatan. Salah satu wujudnya tercermin dari perimbangan pembagian
kewenangan antara pusat dan daerah melalui kebijakan desentralisasi serta perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah.
Wujud demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan haruslah dapat diterima oleh seluruh
lapisan masyarakat tanpa kecuali. Pembagian manfaat haruslah dapat diterima secara adil
dan proporsional oleh setiap pihak. Prinsip keadilan itu hanya dapat terwujud ketika nilainilai
budaya dan etika tetap menjadi landasan dalam proses pembagian manfaat atas
pengelolaan sumberdaya hutan.
Kebijakan pengelolaan hutan tidak lagi menjadi sesuatu yang bersifat elitis. Dalam perspektif
paradigma baru, pengelolaan hutan haruslah mengakomodir prinsip dasar berupa
pertanggungjawaban kepada masyarakat umum (akuntabilitas publik). Artinya, setiap
stakeholder berhak memperoleh akses atas informasi hutan dan kehutanan secara terbuka.
Tidak terbatas pada akses informasi yang bersifat profit, namun juga informasi atas berbagai
kemungkinan timbulnya berbagai dampak ekologis dan sosial dari pengelolaan hutan yang
bersifat negatif.
Kelestarian hutan tidak akan terwujud apabila dalam setiap kebijakan pengelolaan hutan
tidak mengandung prinsip kepastian hukum. Tanpa kepastian hukum yang menyangkut status
kawasan serta hak-hak setiap stakeholder terhadap hutannya maka akan senantiasa
menimbulkan potensi konflik laten atas kawasan hutan. Kisah konflik pertanahan selama
beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak cukup memiliki
legitimasi, meskipun berlindung dibalik kuatnya landasan hukum formal. Sementara
masyarakat setempat yang meneriakkan hak-hak atas hutan selalu kalah dalam setiap
penyelesaian konflik karena hanya dilandasi oleh aturan tak tertulis. Karena itu diperlukan
suatu kepastian hukum yang mengakomodir kedua sistem hukum yang ada.
Mengubah Paradigma Pelayanan Birokrasi di Jakarta
Layanan KTP keliling yang dilakukan di luar hari kerja oleh Pemda DKI Jakarta baru-baru ini
merupakan terobosan pelayanan kepada masyarakat yang patut diapresiasi meskipun masih
terbatas untuk perpanjangan KTP saja. Dengan layanan ini, masyarakat yang kesulitan mengurus
KTP karena kesibukan kerja atau lokasi kelurahan yang jauh dari tempat tinggal dapat terlayani
dengan pelayanan yang lebih baik dan cepat. Namun , Pemda DKI Jakarta tidak boleh cukup
berbangga dan puas sampai di sini. Karena terobosan ini barus sedikit dari begitu banyak
langkah perbaikan yang harus dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta terhadap pelayanan publik
yang diberikan kepada warga Jakarta. Masih banyak problem pelayanan publik yang harus
dihadapi dan diterima masyarakat Jakarta, yang menyebabkan kegiatan warga terhambat dan
tidak memperoleh manfaat yang maksimal.
Sudah umum diketahui bahwa pelayanan publik di Jakarta pada hampir semua sektor, khususnya
layanan administrasi, masih jauh dari memuaskan. Pelayanan yang lambat, tidak pasti, adanya
biaya tidak resmi menjadi wajah dari pelayanan publik oleh birokrasi di Jakarta. Survei yang
dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Tahun 2006 terhadap 10 kota di
Indonesia menunjukkan Jakarta sebagai kota peringkat kedua terburuk dalam kepuasan
masyarakat atas pelayanan publik. Memprihatinkan, mengingat Jakarta adalah ibukota negara.
Sementara survei Kompas pada 2007 menggambarkan bahwa birokrasi Jakarta gagal dalam
menjalankan fungsi pelayanan umum. Sosiolog dari UI, Prof. Tamrin Amal Tamagola juga
menyatakan bahwa ada lima penyakit birokrasi ibukota yaitu Incoherence, Inward looking,
Inconsistence, Incompetenc dan, Impotence yang menyebabkannya tidak mampu melayani
masyarakat dengan baik
Survei terbaru (2010) yang dilakukan IFC-World Bank tentang kemudahan berbisnis di dunia,
menempatkan Indonesia yang diwakili Jakarta di peringkat ke 122, tertinggal dari negara-negara
tetangga seperti Thailand, Malaysia dan terutama Singapura. Bahkan di dalam negeri, survei Sub
National Doing Business yang dilakukan tahun 2009 juga menempatkan Jakarta di peringkat 7
diantara 14 kota lain dalam hal kemudahan memulai bisnis. Salah satu sumber penyebab
peringkat yang buruk ini adalah birokrasi perijinan investasi yang masih sulit. Belum lagi
pelayanan publik lain yang masih banyak dikeluhkan masyarakat. Pelayanan oleh aparatur
birokrasi masih identik dengan pelayanan yag kompleks, berbelit-belit dan menghambat akses
warga untuk mendapat layanan publik yang diperlukannya secara wajar. Padahal pelayanan
publik bukan hanya menjadi hak masyarakat namun juga menjadi pintu masuknya investasi
dalam kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Perilaku buruk dari birokrasi pemerintah terutama dalam pelayanan publik, seringkali karena
adanya paradigma (mindset) yang salah dalam menjalankan fungsinya sebagai aparatur
pemerintahan. Birokrasi pada hampir semua level juga belum mengalami perubahan paradigma;
dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani. Penyelenggaraan pelayanan publik terlalu
berorientasi kepada kegiatan dan pertanggungjawaban formal dan kurang berorientasi pada hasil
berupa pelayanan yang prima kepada warga masyarakat. Birokrasi terjebak pada pola akivitas
yang directly unproductive activities (Bhagwati, 1982). Gaya manajemen yang terlalu
berorientasi kepada tugas (task oriented), juga menyebabkan aparatur kurang termotivasi untuk
lebih kreatif dalam menjalankan tugasnya dan menghasilkan kualitas pelayanan publik yang
prima.
Kelambananan dan paradigma minta dilayani menyebabkan Jakarta disandera birokrasi.
Infrastruktur yang lengkap dalam mendukung kegiatan bisnis dan aktivitas masyarakat serta daya
dukung sektor swasta dalam kegiatan ekonomi yang baik di Jakarta, menjadi tidak teroptimalkan
dalam mendukung kemajuan dan kesejahteraan masyarakat akibat hambatan pelayanan birokrasi.
Bahkan pengembangan SDM berkualitas dapat mengalami hambatan akibat pelayanan publik di
bidang pendidikan dan kesehatan yang juga masih buruk.
Menggugah Perspektif Masyarakat Terhadap Paradigma Baru Sistem Pendidikan
(Nasional)
Senin, 04 Oktober 2010 11:37 Administrator
Berbicara mengenai sistem pendidikan dinegara kita tercinta ini, seolah tidak ada habis-habisnya
memicu kontroversi dan polemik berkepanjangan yang terus bergulir ditingkahi dengan
komentar yang memunculkan pemeo seperti “ganti pimpinan (menteri) berarti ganti kebijakan
(sistem)” atau “tahun ajaran baru, ganti buku baru”, apakah ini sudah menjadi “suratan takdir“
bagi anak bangsa ini yang harus dijalani dalam proses menuju perbaikannya ? Dipersilahkan
anda untuk mencari jawaban yang paling pas menurut kaidah dan persepsi masing-masing,
dengan tanpa meninggalkan pengertian bahwa segala sesuatu itu pasti akan mengalami
perubahan dan hanya satu yang tidak dapat berubah yaitu perubahan itu sendiri.
Dunia pendidikan (nasional) dirasakan selalu tertinggal dibandingkan dengan perkembangan
teknologi, informasi maupun dunia bisnis yang seharusnya seiring sejalan dalam
perkembangannya mengikuti tuntutan dan zamannya, apakah karena dunia pendidikan lebih
banyak dan harus berorientasi kepada human investment katimbang memikirkan profit and lost
yang bernaung dalam suatu wadah/lembaga dengan embel-embel nirlaba ? Mungkin ini suatu
fenomena yang sering terjadi dalam dunia pendidikan (nasional) manakala kita ingin maju dan
dihadapkan pada tantangan globalisasi disemua sektor.
Dan sebagai konsekuensinya yang muncul ketika kita ingin mewujudkan harapan cita-cita
mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan dapat terwujud adalah bagaimana agar
masyarakat mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap perkembangan dunia
pendidikan ini mengingat dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan tidak cukup
hanya dengan memiliki spirit semata yang lebih konkrit lagi adalah terbentuknya suatu keinginan
atau political will dan komitmen yang kuat dari segenap lapisan masyarakat.
Paradigma Baru Sitem Pendidikan
Dalam upaya menjawab kebutuhan dan tantangan dunia global saat ini, paling tidak ada dua
aspek dalam sistem pendidikan yang dapat kita jadikan bahan kajian dan kita gali untuk
dilakukan perubahan menjadi paradigma baru yang berlaku.
Aspek pertama adalah dalam hal metode pembelajaran, sejak dahulu metode pembelajaran kita
selalu berorientasi dan bersumber hanya kepada guru dan berlangsung satu arah (one way), kita
sepakat bahwa metode ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan tanpa
mengenyampingkan bahwa GURU itu tetap harus menjadi insan yang patut di Gugu dan di tiRu.
Sudah saatnya kini orientasi berubah tidak hanya kepada satu sumber saja (Guru), tetapi harus
dilakukan berorientai kepada siswa dan secara multi arah, dengan terjadinya proses interaksi ini
diharapkan akan menstimulir para siwa untuk lebih menumbuhkan tingkat kepercayaan dirinya,
proaktif, mau saling bertukar informasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berfikir
kritis, membangun kerja sama, memahami dan menghormati akan adanya perbedaan pendapat
dan masih banyak harapan positif lainnya yang lahir dari adanya perubahan tersebut serta pada
akhirnya siswa akan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya dalam memandang dan
memahami konteks dalam kehidupan kesehariannya.
Aspek kedua adalah menyangkut manajemen lembaga pendidikan itu sendiri, seperti kita alami
selama ini dimana pada waktu sebelumnya sekolah hanya bergerak dan beroperasi sendiri-sendiri
secara mandiri, maka dalam konteks pembelajaran masa kini dan kedepan setiap sekolah harus
mempunyai dan membangun networking antar lembaga pendidikan yang dapat saling bertukar
informasi, pengetahuan dan sumber daya, artinya sekolah lain sebagai institusi tidak lagi
dipandang sebagai rival atau kompetitor semata tetapi lebih sebagai mitra (counterpart).
Memang jika kita pikirkan kembali kedua aspek paradigma baru ini dalam implementasinya
tidak akan semudah seperti membalik telapak tangan, akan banyak ekses maupun aspek lainnya
yang harus dipikirkan seperti misalnya berakibat akan adanya perubahan dan peran sebuah
lembaga pendidikan yang selama ini kita pahami. Namun melalui konteks perubahan ini kelak
akan jelas terlihat bagaimana sektor pendidikan akan dapat bersinergi dan seiring sejalan dengan
kemajuan dan perkembangan teknologi, pengetahuan dan bisnis sekalipun, karena ouput dari
suatu pendidikan menjadi lebih berkualitas.
Implementasi Paradigma Baru Sisdiknas
Output yang bagaimana yang dapat kita harapkan dari suatu proses perubahan pendidikan dalam
menuju kearah peningkatan kualitas adalah tergantung dari bagaimana kita
mengimplemantisakan, dengan tetap berkomitmen dan berpegang pada aspek perubahan
paradigma baru sistem pendidikan dan stressing nya difokuskan terhadap hal-hal berikut ini :
1.Sistem Pendidikan harus diimplementasikan dengan berpegang pada prinsip “muatan lokal,
orientasi global”
2.Konten dan kurikulum yang dibuat harus berbasis pada penciptaan kompetensi siswa
(kognitif, afektif dan psikomotorik)
3.Proses belajar mengajar harus berorientasi pada pemecahan masalah riil dalam kehidupan,
tidak sekedar mengawang-awang (problem base learning)
4.Fasilitas sarana dan prasarana harus berbasis teknologi informasi agar dapat tercipta jejaring
pendidikan antar sekolah dan lembaga lainnya
5.Sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidkan harus mempunyai kemampuan
multi dimensi yang dapat merangsang multi intelejensia peserta didik
6.Manajemen pendidikan harus berbasis sekolah ? Sistem informasi terpadu untuk menunjang
proses administrasi dan strategis
7.Otoritas pemerintah daerah diharapkan lebih berperan dalam menunjang infrastruktur dan
suprastruktur pendidikan ? Sesuai strategi otonomi daerah yang diterapkan secara nasional.
Kita sepaham dan sepakat pada akhirnya bahwa “nasib” keberhasilan anak bangsa ini untuk
dapat berkompetisi dan berhasil memenangkan persaingan di segala sektor di era global ini
berada pada institusi pendidikan
Dalam upaya menciptakan keunggulan kompetitif ini, masyarakat perlu berpartisipasi secara
aktif untuk dapat menumbuhkan dan menciptakan inovasi yang berharga bagi perkembangan
dunia pendidikan, karena tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan nasional hanya akan
menghasilkan output yang tidak mandiri, kurang percaya diri dan selalu akan tergantung pada
pihak lain.
Dalam perspektif masyarakat terhadap pendidikan harus mampu menjembatani dan mengatasi
kesenjangan antara proses, hasil dan pengalaman selama dibangku sekolah dengan kenyataan
tuntutan hidup yang riil.
Dalam era globalisasi ini tantangan pendidikan menjadi tidak terbatas (waktu, lokasi dll), jika
kita (masyarakat) berdiam diri dan tidak mempunyai keinginan untuk melakukan suatu
perubahan kearah perbaikan, maka bersiap-siaplah kita sebagai bangsa akan termajinalisasikan
secara alami.
Paradigma Ekonomi
Dijadikannya paradigma ekonomi sebagai satu-satunya fokus utama dan indikator keberhasilan
pembangunan disebabkan oleh political phobia pemerintahan Soeharto terhadap 'kegagalan'
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno. Pertikaian antar partai yang
berjumlah ratusan (dan sekarang nampaknya terulang kembali) membuat rezim Soeharto alergi
terhadap pembangunan politik dalam arti pemberian kesempatan yang luas kepada masyarakat
untuk membentuk organisasi-organisasi sosial politik.
Atas pertimbangan inilah kemudian muncullah semboyan kampanye pembangunan (baca :
pembangunan ekonomi) sebagai sasaran yang hendak dan harus dicapai pada waktu itu.
Pembangunan Yes, Politik No merupakan semboyan kampanye partai politik (Golkar khususnya)
pada tahun-tahun 1970-an dan 1980-an. Klaim Golkar yang selalu mengatakan pembangunan
jalan terus jika Golkar menang merupakan refleksi dari terlalu berlebihannya ekonomi dijadikan
sebagai panglima. Kesan bahwa Orde Baru hanya ingin berbeda dengan Orde Lama semakin
kuat ketika alasan-alasan ekonomis dijadikan sebagai pembenaran akan perilaku dan keputusan
politik rejim penguasa Orde Baru pada waktu itu.
Adopsi pendekatan pembangunan yang diarahkan pada strategi trickle down effects dan
economic growth oleh Orde Baru, ternyata tidak dapat berjalan sebagaimana teorinya. Efek-efek
yang menetes ke bawah dimana diharapkan mampu menjunjung golongan miskin dan ekonomi
lemah ternyata malah sebaliknya. Golongan ekonomi lemah menjadi sangat tergantung pada
struktur ekonomi diatasnya karena memang sistem ekonominya mengikat pada hal seperti itu.
Strategi economic growth juga menghasilkan dampak yang mengerikan yaitu bahwa
pertumbuhan tinggi namun kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin lama semakin
jauh. Yang kaya menjadi lebih kaya dan sebaliknya yang miskin menjadi lebih miskin.
Akibatnya adalah tidak tertampungnya kapasitas ekonomi kelas bawah dalam dinamika ekonomi
nasional yang lebih sehat.
Kondisi seperti ini mengakibatkan weak economic foundation (fondasi ekonomi yang lemah)
karena tidak terdistribusikannya kekuatan ekonomi secara proporsional dan seimbang. Keadaan
ini semakin diperparah dengan economic corruption, collusion, cronyism dan unfair economic
competition oleh karena intervensi kekuasaan dalam kehidupan ekonomi. Idealisme dalam
kebijakan tidak pernah sama dalam implementasinya. Ketika kebijakan menyatakan
pembangunan ekonomi untuk membantu masyarakat kecil, namun pada kenyataannya
masyarakat ekonomi menengah dan keataslah yang diuntungkan (Prof. Hugo, 1991).
Intervensi kekuasaan dalam ekonomi dan digunakannya indikator ekonomi sebagai sarana
mencapai tujuan-tujuan politik rejim Orde Baru inilah yang membawa kepada pembangunan
ekonomi yang lemah dan tidak sehat. Pejabat berbisnis, militer berbinis, anak pejabat berbinis
dengan menggunakan fasilitas istimewa inilah yang kemudian menghancurkan idealisme sistem
ekonomi itu sendiri. Kondisi semacam ini semakin parah karena ternyata pola bisnis semacam ini
tidak saja terjadi pada tingkat nasional tetapi juga pada tingkat lokal kedaerahan. Jadi tuntutantuntuan
hukum terhadap anak-anak pejabat yang berbisnis dengan fasilitas istimewa tidaklah
fair, bila hanya ditujukan kepada anak-anak pejabat pusat seperti Mantan Presiden Soeharto.
Anak-anak para Gubernur, Bupati dan pejabat daerah lainnya yang pada masa Orde Baru
berbisnis dengan fasilitas istimwewa harus juga dikenai sanksi hukum (punishment)yang
setimpal. Namun demikian, bagi mereka yang berbisnis secara fair, wajar dan kompetitif juga
harus diberikan reward yang setimpal pula.
Rabu, 16 November 2011

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Ads 468x60px

Social Icons

Featured Posts

Copyright © 2012 Article | Naruto Vs Sasuke V2 Theme | Designed by Johanes DJ